Senin, 10 Februari 2014

ODES MAHO: ORANG DESA MASUK HOTEL






ODES: Mas mas, maaf, eemm numpang tanya, kamar 614 di mana ya mas?
OB HOTEL: Oh itu pak di situ, dari ruang lobi ini ke kiri, terus lurus saja, sebelum ruang makan ya pak?
ODES : Ya mas, terimakasih
(sambil meninggalkan OB Hotel dengan digagah-gagahkan langkahnya).
........


Semenit kemudian,
ODES (celingukan mondar-mandir di sekitar ruang makan sambil membatin): Kok nggak ada kamar 614, di mana ya?
TAMU (baik hati): Hendak kemana pak?
ODES: Ini pak, nyari kamar 614 kok belum ketemu.
TAMU (sambil menekan sesuatu di pagar eh tembok ... di dekat sebuah pintu, lift) Oohh, mari naik bersama saya pak, kebetulan saya di kamar 516, lantai 5.
ODES (Glodhag hatinya, masih membatin): Eee iya ya, kamar 614 itu artinya di lantai 6 kamar ke-14 ya, baru nyadar kalau ini hotel, bayangan saya di kos-kosan sana, pantesan dicari-cari di bawah nggak ada kamar 614. Gara-gara lama nggak ke hotel jadi lupa.... 

NASIB SKANDAL DI AKHIR AKHIR ZAMAN


 
Skandal adalah perbuatan yang memalukan, perbuatan yang menurunkan martabat seseorang. Demikian kata KBBI.
 

Bentuknya bisa berupa kejahatan pencurian dan pengelapan kekayaan negara atau perusahaan. Tetapi yang sering jadi pergunjingan biasanya penggelapan hubungan pria-wanita. Bukan suami istri tetapi hubungannya melebihi atau minimal mirip suami-istri.
 

Jumlah skandal akhir-akhir ini semakin berkurang dan mungkin saja akhirnya habis. Sebabnya bukan karena meningkatnya kesadaran akan martabat manusia sebagai makhluk paling mulia. Bukan pula dikarenakan meningkatnya kesadaran mematuhi berbagai norma. Justru karena manusia semakin tidak mengenal malu dan tidak mengenal martabatnya maka tidak bisa memberi penilaian atas semua tingkahnya. Tanpa nurani, perasaan yang terdalam, maka tidak akan pernah ada lagi skandal yang dikenali.

Bagaimana dengan Anda? Suka SKANDAL JEPIT atau SKANDAL KULIT? Atau dua-duanya: SKANDAL JEPIT KULIT? Semua nikmat di kaki dan di hati asal pas dan legal. 

Kamis, 06 Februari 2014

TUGAS AKHIR KITA




Tugas akhir (TA), biasanya menjadi persyaratan wajib bagi anak sekolah atau orang kuliah sebelum dinyatakan lulus dari pendidikan yang diikutinya. Untuk jenjang SMA dulu sekitar tahun 80-90-an tugas akhir itu disebut karya tulis. Akhir-akhir ini tidak semua sekolah mempersyaratkannya (kalau tidak mau dibilang jarang atau hampir-hampir tak ada karena sibuk mempersiapkan sukses Ujian Nasional/UN). Kemudian di tingkat atasnya, di perguruan tinggi, TA untuk strata satu disebut  skripsi, strata dua tesis dan strata tiga disebut disertasi. Begitu yang biasanya dikenal di Indonesia.
Dilihat dari isinya TA merupakan bagian dari penilaian hasil belajar yang bersifat komprehensif.  Artinya bahwa isi TA merupakan cerminan kompetensi seluas-luasnya yang dimiliki pelajar atau mahasiswa. Segenap-genapnya, sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya wawasan atau pengetahuan yang dimiliki  dituangkan ke dalam TA untuk menunjukkan bahwa si penulis, pelajar dan mahasiswa itu, pantas lulus. Namun sebenarnya bukan sekedar pengetahuan substansial materi saja yang dibutuhkan, melainkan juga kompetensi keterampilan menyajikan pengetahuannya dalam bentuk tulisan rapi dan menarik serta kompetensi sikapnya untuk sabar menghadapi tekanan psikologis saat proses penyusunannya.
Tidak mudah menghasilkan TA yang berkualitas ideal, butuh kerja keras otak, perasaan dan fisik. Bagi yang tidak terbiasa menulis dan kerja keras pembuatan TA akan menjadi suatu pekerjaan yang membosankan, memberatkan atau bahkan menyebalkan. Harus mencari ide, mencari dan membaca banyak referensi, setelah itu menuangkan dalam bentuk tulisan, berkonsultasi dengan pembimbing tak cukup hanya sekali atau dua kali. Jalan pintas akhirnya yang ditempuh untuk mengurangi beban. Lari ke jasa pembuatan TA, membeli, jiplak atau plagiat tulisan yang sudah ada, atau membuat asal jadi, bisa jadi pilihannya. Tentunya ini bukan untuk ditiru karena beresiko. Resikonya bisa bersifat psikologis semisal malu kalau ketahuan plagiat, atau malu dengan kualitas TA jadi-jadiannya, sampai resiko finansial mengeluarkan uang untuk membeli atau membayar jasa pembuatan TA atau bahkan denda karena plagiatnya diperkarakan oleh penulis aslinya.
Banyak di antara kita yang susah mengatur waktu karena banyaknya tugas, baik sebagai warga masyarakat, kepala atau anggota keluarga maupun seorang profesional. Ini menjadi alasan klasik kita malas ata berat menulis, akibatnya TA tidak kunjung selesai. Manajemen waktu dibutuhkan untuk menyiasatinya tugas yang datang bersamaan. Meminjam istilah kuadran manajemen waktu, kita harus bisa mengenali tugas kita ada di kuadran mana, apakah: 1) penting dan genting; 2) penting tapi tidak genting, 3) genting tapi tidak penting; dan 4) tidak penting dan tidak genting. Dengan memahami positi tugas kita di kuadran mana maka kita bisa menyikapinya dengan benar, dikerjakan sekarang langsung jadi, dikerjakan tetapi bertahap, didelegasikan ke orang lain, atau diabaikan saja.
Menunda penyelesaian TA berarti menempatkannya pada kuadran 2, menyerahkannya untuk dikerjakan orang lain berarti pada kuadran 3. Parah lagi menyerahkan ke orang lain dengan tanpa target waktu dan sejadinya, berarti kuadran 4. Yang terbaik tentu menargetkan jadi secepatnya dengan hasil sebaik-baiknya dan mengerjakannya dengan semangat juang yang tinggi, kuadran 1.
Mungkin pernah kita dalam hati kecil meragukan kepantasan TA sebagai tugas penting dan genting, yaitu di posisi kuadran 1. Misalnya, TA dianggap genting atau mendesak tetapi tidak penting. Genting karena mendesak, karena menjadi syarat kelulusan. Tidak penting atau tidak pokok karena “ora dadi pitakon kubur” (tidak menjadi bahan pertanyaan di alam kubur). Ada-ada saja memang. Atau ada juga yang mengungkapkannya dengan bahasa yang lebih nyaman di telinga. Misalnya, tugas pokok dan penting kita di dunia kan beribadah, mumpung masih hidup kita harus segera beribadah, jangan ditunda-tunda. Tuhan menciptakan jin dan manusia untuk beribadah, bukan untuk membuat TA. Maka harus diupayakan akhir hayat kita dalam kondisi beribadah, karena nilai manusia di mata Tuhan adalah dilihat akhir hayatnya. Waaah benar juga ya.  
Kita tak perlu mengurangi, justru harus meningkatkan keyakinan bahwa tugas penting kita (dan bahkan genting) sebagai ciptaan-Nya memang beribadah.  Dengan beribadah secara khusyuk hidup kita akan terasa lebih tenang. Namun bukan berarti kemudian kita harus menghabiskan waktu untuk beribadah dalam arti ritual khusus sementara di sekitar kita banyak terjadi ketidakberesan atau kesenjangan. Kesenjangan antara apa yang seharusnya dan apa yang senyatanya terjadi bukan hanya satu dua kali, puluhan, ratusan, melainkan terus menerus takkan pernah ada habisnya karena kesenjangan itu selalu mengiringi hidup dan hubungan antarmanusia. Tuhan memang mewajibkan kita melakukan ritual ibadah tertentu setiap hari. Tetapi Tuhan juga melarang kita berdiam diri melihat  ketidakberesan. Karena ketidakberesan yang satu akan memicu ketidakberesan yang lebih banyak dan lebih parah kalau tidak segera diselesaikan dengan baik. Bencana bukan menimpa pelaku ketidakberesan melainkan juga pada orang lain yang mendiamkannya. Kita diwajibkan untuk membenahinya, menyerukan kebaikan dan mencegah pada kemungkaran dan ha-hal atau keadaan yang tak memanusiakan manusia seperti kejahatan, kebodohan dan kemiskinan.
Amalan-amalan sosial bernilai ibadah kalau dikerjakan dengan niat mematuhi Tuhan. Tentu kita takut suatu hari nanti memasuki pengadilanNya berbekal banyak pahala ritual tetapi juga ditanggungi beban berat dosa sosial karena tak peduli dengan lingkungan kita. Maka persoalan penting tidaknya, genting tidaknya penyelesaian TA sebenarnya tergantung juga pada tingkat kemampuan seseorang memahami dan menghendaki posisi TA. Bila TA dipahami dan dikehendaki sebagai sarana melaksanakan perintahNya dan sarat dengan upaya untuk memperbaiki kondisi di lingkungan maka tak ragu lagi untuk menyegerakan penyelesaiannya. Bukankah demikian?
Semoga Allah, memberi manfaat pada kita atas apa yang telah Dia ajarkan pada kita, dan semoga mengajari kita apa saja yang bermanfaat bagi kita. Aamien.